Rabu, 02 November 2011

Alat musik karinding

Karinding, Alat Musik Karuhun Nan Unik

BILA dilihat dari segi popularitasnya, mungkin hanya sedikit dari kita yang mengenal keberadaan alat musik karinding. Padahal, alat musik ini diprediksi sebagai salah satu jenis instrumen tertua yang merupakan warisan dari peradaban kuno.
Tempaan perjalanan sejarah yang sangat panjang tersebut temyata tidak menjadikan eksistensinya makin dikenal masyarakat Terlebih, alat musik karinding sempat dianggap musik komunis, karena kerap dimainkan anggota Lekra, lembaga kebudayaan yang diprediksi bentukan Partai Komunis Indonesia (PKT). Akibatnya, pada masa Orde Baru popularitas alat musik ini makin tenggelam dan dilarang dimainkan.
"Terlepas dari masalah politik itu, mungkin generasi sebelum kita juga tidak berani mengeksplorasi alat musik karinding," kata Man Jasad (32), salah seorang seniman Sunda yang mencoba mengangkat kembali popularitas alat musik tersebut, saat ditemui di Common Room, Kamis (24/6).Bentuk dari alat musik ini cukup sederhana. Ukuran standar karinding hanya sepanjang sekitar 10 sentimeter dengan lebar 2 sentimeter. Semula alatmusik ini dibuat dari pelepah kawung. Namun, karena sulitnya menemukan pelepah kawung, saat ini para seniman memodifikasi pembuatan alat musik karinding menggunakan bahan baku dari batang bambu.
Menurut Man, untuk memainkan alat musik ini cukup mudah. Karinding dimainkan dengan cara ditempelkan di mulut, lalu ditabuh (dipukul) salah satu ujungnya dengan menggunakan telunjuk. Getaran antara karinding dan mulut tersebutlah yang dapat menghasilkan irama yang unik dan menarik.Alat musik karinding dapatdipadukan dengan berbagai jenis alat musik lain, seperti lem-pung, suling, toleat, bahkan koto (alat musik Jepang). Tidak hanya itu, dari beberapa eksplorasi yang pernah dilakukan, terbukti pula bahwa karinding dapat dikolaborasikan dengan beberapa band modern, seperti dengan grup band Burger Kill, beberapa waktu yang lalu.

Lebih lanjut Man mengatakan, banyak alat musik yang hampir serupa dengan karinding di daerah lain, seperti genggong di Bali, rinding di Jawa Tengah bahkan dari luar negeri seperti alat musik jeusharp dari Tibet. "Akan tetapi, belum adasejarah tertulis dari naskah kuno yang saya temukan. Hanya berupa cerita lisan dari beberapa orang tua," ucapnya.
Perlu pengembangan
Untuk dapat memopulerkan kembali alat musik karinding di tengah derasnya arus globalisasi bukanlah suatu perkara yang mudah. Pasalnya, hingga saat ini apresiasi masyarakat terhadap perkembangan seni dan budaya masih sangat minim, terlebih pada seni tradisional.
Untuk menyiasatinya, sejak 2008, Man Jasad bersama beberapa rekan seniman lainnya mencoba mengembangkan alat musik karinding ini sesuai dengan kondisi zaman. "Buat pengembangannya, yang terpenting adalah pengemasan komposisi musik agar bisa diterima oleh anak muda zaman sekarang. Jadi, intinya dikemas dengan gaya kekinian, dari mulai penyajian sampai performanya," tuturnya.Pengembangan musik karin- ding tersebut temyata cukup membuahkan hasil.
Hingga saat ini, telah banyak terbentuk grup karinding di berbagai tempat. Di Cicalengka misalnya, terdapat grup Markipat Karinding yang memainkan alat musik tersebut dengan menggunakan gaya vokal khas aliran death metal. Selain itu, dalam beberapa pergelaran seni juga kerap ditemukan pemaduan karinding dalam pembacaan puisi.Tidak hanya terbatas sampai disitu. Bila kita perhatikan, di beberapa pertunjukan musik metal maupun underground di Kota Bandung, saat ini tidak jarang diselipkan unsur budaya tradisional di sela-sela acaranya. "Kebetulan saya sendiri sudah belasan tahun berkecimpung di dunia musik metal. Jadi target utama saya awalnya kepada anak muda yang suka musik metal," ucap Man.
Walaupun perkembangan alat musik karinding saat ini mulai diterima oleh kalangan muda, Man mengaku sempat menuai kritik dari beberapa kokolot (senior) seni Sunda, karena cara penyajiannya dianggap tidak sesuai dengan tradisi lama. "Akan tetapi, menurut saya pribadi, budaya itu merupakan suatu produk manusia. Jadi, sah-sah saja untuk mengembangkannya sesuai dengan kondisi kekinian. Lagi pula kita belum punya referensi berupa audio yang sudah baku," kata Man. "Sekarang mah, yang paling penting bagaimana caranya agar tradisi kita bisa berkontribusi aktif di Jawa Barat khususnya, umumnya di Indonesia dan lebih jauh lagi secara global," katanya. (Albian-syah)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar